Nasib Warga Tionghoa Ditentukan Tiang Layar Tongkang
12 Juli 2012, 08:55:49 Dilihat: 236x
Banda Haruddin Tanjung - Okezone
Senin, 9 Juli 2012 10:16 wib
Tradisi bakar tongkang di Bagan (Repro: Okezone/Banda Haruddin Tanjung)
PEKANBARU - Bakar tongkang atau Sio Ong Cuan merupakan tradisi etnis Tionghoa di Bagan Siapiapi, Ibu kota Kabupaten Rokan Hilir (Rohil), Riau. Sebelum melakukan pembakaran, ribuan orang yang telah memadati areal khusus pembakaran tongkang melakukan doa-doa untuk para dewa.
Berbagai lukisan dewa-dewa tampak meramaikan acara prosesi pembakaran. Tidak ketinggalan, acara sakral itu juga dimeriahkan tari barongsai yang diikuti musik dan nyayian Mandarin khusus untuk bakar tongkang.
Acara ini juga dimeriahkan atraksi ilmu bela diri khas Tionghoa untuk menyempurnakan prosesi sakral itu.
Jutaan kertas kuning berisi doa-doa masyarakat Tionghoa ditaburkan di sekeliling replika tongkang berukuran sekira 8x2 meter. Sesaat api mulai membakar tongkang, warga Tionghoa tidak putus-putus memanjatkan doa sambil membawa lidi khusus atau hio .
Sebagian besar masyarakat yang hadir meyakini, saat prosesi pembakaran tongkang Dewa Ki Hu Ong Ya (Dewa Laut) dan Dewa Ki Hu Ong (Dewa Penyelamat) akan datang dan mengabulkan doa mereka.
Aroma khas juga mewarnai prosesi sakral itu. Setelah hampir satu jam acara pembakaran, inilah yang ditunggu ribuan etnis Tionghoa, yaitu menungu jatuhnya tiang layar yang terdapat di tengah tongkang.
“Setelah tongkang terbakar maka akan disertai tiang layar yang jatuh. Menurut kepercayaan kami, jika layar itu jatuhnya ke laut maka kami harus mencari rezeki ke laut. Karena di sana diyakini banyak rezekinya. Demikian jika tiang jatuhnya ke darat, maka selama setahun ke depan rezeki ada di darat,” kata Hasanto, tokoh etnis Tionhoa Bagan Siapiapi sekaligus Ketua Panitia bakar tongkang tahun 2012 kepada Okezone.
Hal yang tidak kalah unik, ada kepercayaan bahwa siapa saja warga Tionghoa yang lahir di Bagan Siapiapi kemudian dia merantau ke daerah lain atau ke luar negeri, harus pulang saat prosesi bakar tongkang. Jika tidak, mereka akan mendapat bala atau menemui kesulitan dalam hidup.
Bila berhalangan hadir, paling tidak, ada anggota keluarga yang hadir sebagai perwakilan. Ritual bakar tongkang setiap tahun digelar pada tanggal 16 bulan 5 atau Go Ge Cap Lak atau tahun bertepatan dengan 7 Juli.
Walau berbau mistis, namun tradisi ini masih dipegang teguh etnis Tionghoa Bagan Siapiapi.
“Kalau saya hampir setiap acara bakar tongkang selalu datang. Saya sering mewakil keluarga jika mereka tidak bisa hadir. Kita memang percaya jika dalam bakar tongkang itu harus ada pihak keluarga yang hadir,” ujar Fendi Ong, warga Bagan Siapiapi yang kini tinggal di Pekanbaru.
Warga Bagan Siapiapi didominasi etnis Tionghoa. Sebagian besar mereka bermata pencaharian sebagai nelayan. Secara geografis, Bagan Siapapi berada di barat daya Riau. Dari Pekanbaru dibutuhkan waktu sekira enam jam untuk sampai ke Bagan Siapiapi.
Kota itu pernah mengalami masa kejayaan sebagai penghasil ikan terbesar kedua di dunia setelah Norwegia selama puluhan tahun. Namun, kejayaan itu meredup setelah maraknya penangkapan ikan memakai bahan peledak. Sejak 1970- an sampai sekarang hasil tangkapan ikan terus menurun.
Warga Tionghoa di Bagan Siapiapi meyakini jika tradisi bakar tongkang dilakukan setiap tahun, laut Bagan bisa memberikan penghasilan lebih bagi mereka.
(ton)