Jum'at, 3 Agustus 2012 10:04 wib
Walaupun Ramadan senantiasa datang di tahun yang berbeda, ada yang tidak berubah dari tahun ke tahunnya; sandiwara. Suatu tindakan yang dimotivasi oleh kepura-puraan dan hilangnya kontemplasi mendalam atas sakralitas bulan suci.
Dari hilangnya kontemplasi mendalam itu, bulan suci kemudian mandul dalam melahirkan generasi-generasi muttaqin yang saleh terhadap diri dan kehidupan sosialnya. Generasi yang kemudian menemukan rasa kepedulian untuk hidup secara mulia, kesabaran dalam mengatasi masalah, dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku.
Hampir tidak ada yang bisa menjamin Ramadan sebagai bulan yang ditunggu tersebab kesakralan dan kesucian yang dibawanya. Karena terlalu banyak kepentingan yang menunggangi sakralitasnya, baik oleh pilitik maupun oleh kaum kapitalis.
Sehingga ada yang salah kaprah, dengan mengira Ramadan perlu disucikan. Penertiban yang arogan terhadap warung remang-remang, blokade daerah wisata, dan tempat-tempat yang dianggap mengganggu kesucian Ramadan. Seakan-akan kesucian bulan Ramadan adalah produk manusia.
Bulan Politis dan Kapitalis
Barangkali hal itu merupakan bentuk ekspresi kegelisahan, dari nihilnya hasil gemblengan rutinitas keagamaan selama bulan suci Ramadan, terhadap perilaku manusia-manusia yang berpuasa. Tetapi tidak menutup kemungkinan, tindakan semacam itu merupakan bentuk teaterikal untuk mencitrakan diri dan kelompok.
Sebab telah menjadi pemahaman publik, bahwa faktor yang paling banyak mempengaruhi teaterikal dan kepura-puraan dalam bulan Ramadan adalah pencitraan dan kapitalisme. Dua faktor itulah yang paling sering dipertontonkan dalam kehidupan ber-Ramadan kita.
Perhatikan saja, berapa partai politik yang tiba-tiba dengan dermawannya mengadakan acara buka puasa bersama, membentuk panitia amil zakat, hingga open house saat dirayakannya hari raya Idul Fitri. Acara-acara semacam ini, bukan tidak mungkin akan menaikkan elektabilitas partai, termasuk juga berpengaruh dalam suksesi pemenangan pemilihan gubernur, pemilihan presiden, pemelihan kepala desa, dan pemilihan-pemilihan lainnya.
Di sisi lain, stasiun-stasiun televisi juga tidak kalah heboh dalam bersandiwara. Sejak dini hari, mereka sudah sedemikian banyak menyuguhkan acara-acara yang sepertinya islami. Dari humor sahur, nasyid, kultum, hingga acara buka bersama. Kesemuanya menjadi suguhan wajib dan tidak pernah terlupakan oleh pihak stasiun televisi.
Lebih parah dari itu, acara-acara semacam ini dikemas dengan tidak profesional, dan terkesan dipaksakan. Acara humor menunggu sahur yang dikemas sedemikian lucu, kadang tidak tanggung-tanggung mengeluarkan kata-kata kotor, ejekan-ejekan yang menyakitkan, bahkan gunjingan-gunjingan yang sama sekali dilarang oleh agama.
Tidak aneh, jika kemudian bulan Ramadan menjadi bulan kompetisi: pencitraan dan pencapaian keuntungan. Sakralitas dan misi utama Ramadan menjadi tak terbaca lagi, apalagi memberi bekas yang baik.
Bulan Teaterikal Kemiskinan dan Muhsinin
Tentu kita masih ingat insiden zakat Pasuruan yang menewaskan 21 orang, karena hanya untuk mendapatkan uang senilai Rp. 30.000. Tentu sangat ironis sekali, sedemikian banyak nyawa harus melayang demi sejumlah uang yang tidak cukup dimakan satu bulan. Tidak hanya di Pasuruan, insiden semacam ini sudah sedemikian banyak terjadi pada saat bulan Ramadan.
Bulan Ramadan bagi orang-orang kaya, barangkali merupakan bulan panen uang, sehingga mereka secara latah menjadi muhsinin yang senang bagi-bagi shadaqah, zakat, dan bantuan secara terbuka. Di rumah-rumah orang-orang kaya dibuat semacam ada pohon rezeki yang boleh dipetik oleh orang-orang miskin dengan mengorbankan nyawa dan kesehatan.
Di sini sangat kentara tindakan sandiwara yang dilakukan, jika acara bagi-bagi tersebut tidak memberikan jaminan keselamatan dan keamanan terhadap kaum miskin yang mengantri. Terlebih, jika itu dilakukan dengan motivasi popularitas.
Sehingga tidak salah, jika pada saat orang-orang kaya bersandiwara dengan segala kekayaannya dengan berderma, kaum menengah ke bawah, juga berusaha memiskinkan diri semiskin-miskinnya, untuk mendapatkan zakat dan shadaqah dari para dermawan dadakan.
Jadi ada semacam mata rantai yang begitu rapi dan kuat antara politik, kapitalisme, kaum dermawan, dan orang-orang miskin yang memiskinkan diri. Keempat unsur ini bersinergi untuk menciptakan konsep teaterikal yang bagus dalam bulan Ramadan.
Tujuan Ramadan
Kenyataan ini menunjukkan, sandiwara dan kepura-puraan berlangsung sedemikian sistemik—meminjam bahasa politik. Sehingga tidak ada cara lain, kecuali kembali tulus ikhlas merencanakan tujuan diberkahkannya bulan suci Ramadan.
Yaitu tujuan membangun spirit beragama yang baik dan sikap bersosial yang pantas. Sehingga Ramadan benar-benar melahirkan jiwa muttaqin dengan keseimbangan hablun minallah dan hablun minannas. Setidaknya, walaupun tidak menjadikan manusia imitasi malaikat, tetapi kita memiliki kehati-hatian dari sikap membangkang terhadap aturan-aturan.
Dengan demikian, barangkali percakapan Ubay dan Umar tentang takwa yang dilukiskan dengan tamsil berhati-hati dan memindahkan duri sebelum melangkah, bisa diaplikasikan dalam keseharian kita. Tentu dengan ketulusan, serta jauh dari teaterikal dan sandiwara.
Semoga kita menjadi golongan bertakwa yang mendapatkan kemenangan (QS. An-Naba’: 31), sejak bulan ini dan seterusnya. Amien ya Rabbal alamien. Wallahu a’lam bis shawab.
Ach. Nurcholis Majid
Penulis buku Ta’jil, Pengajar di TMI AL-AMIEN Prenduan